Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia - TUGAS PEMBELAJARAN ONLINEKU

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here
Selamat membaca gaisss
Winnie The Pooh Bear

Senin, 06 April 2020

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


Pemberontakan Fisik Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 


A. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Raya dan India Britania. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Usai pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10 November diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia.
Ketika pasukan Sekutu mendarat pada akhir Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai "benteng bersatu yang kuat [di bawah Pemuda]" Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak. Britania melakukan serangan balasan punitif pada 10 November dengan bantuan pesawat tempur. Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim senjata melawan selama tiga minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota mengungsi ke pedesaan.
Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan pasukan Republik membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga meyakinkan Britania untuk mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia; beberapa tahun kemudian, Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

B. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa merupakan salah satu pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pertempuran Ambarawa berlangsung untuk tujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukan karena setelah kemerdekaan, pasukan NICA dan militer Inggris datang kembali ke Indonesia dan berusaha menggoyahkan pemerintahan yang sudah terbentuk.

Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Oktober 1945. Latar Belakang pecahnya Pertempuran Ambarawa disebabkan karena pasukan sekutu mendarat di kota Semarang tepat pada tanggal duapuluh Oktober 1945. Pasukan tersebut kemudian membebaskan tawanan perang di Magelang dan Ambarawa. Pasukan yang diizinkan untuk membebaskan tawanan perang oleh pemerintah Republik Indonesia tersebut kemudian mempersenjatai tawanan yang sudah dibebaskan.

Pasukan yang dibebaskan saat sebelum pertempuran Ambarawa pecah adalah merupakan tawanan perang dari Eropa. Akibat pembebasan dan pemberian senjata yang diberikan oleh pasukan Sekutu kepada tawanan menyebabkan terjadi beberapa insiden tepatnya pada tanggal 26 Oktober. Insiden ini merupakan pertempuran yang berlangsung antara pasukan Sekutu dan pasukan TKR sebelum pertempuran Ambarawa.

Insiden sebelum pertempuran Ambarawa ini dapat berakhir setelah pemimpin dari kedua belah pihak melakukan sebuah perjanjian. Kedua tokoh yaitu Ir Soekarno dari Republik Indonesia dan Brigadir Jenderal Bethell dari Sekutu. Pertemuan berlangsung di Magelang pada tanggal 2 November 1945 dan melakukan sebuah perjanjian.


C. Pertempuran Medan area
Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi di MedanSumatra Utara. Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu (Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden terjadi di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota MedanSumatra Utara pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu, seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia. Pada tanggal 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki Kota Medan. Untuk sementara waktu pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Siantar, sementara itu perlawanan para laskar pemuda dipindahkan keluar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu semakin sengit pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.
Kemudian diadakanlah pertemuan di antara para Komandan pasukan yang berjuang di Medan Area dan memutuskan dibentuk nya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat untuk memperkuat perlawanan di Kota Medan. Setelah pertemuan para komando itu, pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan berganti nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo, dipimpin oleh Matang Sitepu sebagai ketua umum, dan dibantu oleh Tama GintingPayung BangunSelamat GintingRakutta SembiringR.M. Pandia dari N.V Mas Persada Koran Karo-karo dan Keterangan Sebayang.

D. Peristiwa Krueng Panjo
Di Aceh, sekutu menggerakkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi para pejuang, sehingga pecah pertempuran yang dikenal sebagai Peristiwa Krueng Panjo pada bulan November 1945.

E. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api merupakan peristiwa besar yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini adalah sebuah perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Bandung dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
Sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api adalah sebuah situasi di mana para pejuang kemerdekaan Indonesia di Bandung membakar kota Bandung demi upaya untuk mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia. Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada bulan Maret 1946. Pembakaran kota Bandung dilakukan oleh masyarakat sebagai respon perintah dari pihak Sekutu yang menyuruh masyarakat agar mengosongkan kota Bandung. Pembakaran dilakukan oleh sekitar 200 ribu masyarakat, dalam waktu 7 jam. Mereka membakar harta benda dan rumah, selanjutnya pergi meninggalkan kota Bandung.
Peristiwa Bandung Lautan Api dilatarbelakangi ketika pasukan sekutu memasuki Bandung, dipimpin oleh Brigadir MDonald. Kedatangan pasukan sekutu kemudian berusaha menguasai dan menduduki pusat-pusat penting di kota Bandung seperti kantor-kantor.Kemudian terjadi insiden ditempat para pasukan Sekutu dan NICA menginap, yaitu di Gedung Denis. Insiden yang terjadi adalah perobekan Bendera Belanda (biru, merah dan putih), perobekan dilakukan dengan menghilangkan warna biru, sehingga menjadi merah putih yang merupakan bendera kebanggaan Republik Indonesia. Perbuatan ini dilakukan oleh pemuda Indonesia, bernama M. Endang Karmas dan temannya Moeljono.

F. Puputan Margarana di Bali
Pertempuran Puputan Margarana adalah satu dari banyak pertempuran antara Indonesia dan Belanda pada perang kemerdekaan Indonesia pada 20 November 1946. Pertempuran  ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil, yaitu Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Pertempuran ini mengambil tempat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, Indonesia. Peristiwa ini terjadi dengan niat Pasukan TKR setempat untuk mengusir Pasukan Belanda yang datang setelah kekalahan Jepang untuk menguasai kembali wilayah yang direbut Jepang pada Perang Dunia II.
Pada awalnya, Pertempuran Margarana dipicu pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, pada saat itu, kurang lebih 2.000 tentara Belanda mendarat di Bali. Ketika Belanda sampai di Bali, pemimpin Laskar Bali, Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang menghadap ke Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta, dengan tujuan untuk membicarakan masalah pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara untuk menghadapi Belanda. Ketika kembali dari Yogya, I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya dalam keadaan porak-poranda. Ini disebabkan oleh serangan pasukan Belanda. Ngurah Rai terus berusaha untuk mengumpulkan kembali pasukannya, dan sementara itu, Belanda terus membujuk Ngurah Rai untuk bekerja sama dengan pihak Belanda.
Pada tanggal 20 November 1946, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan ketika staf MBO berada di desa Marga. Perintah ini terlaksana dengan baik. Tidak hanya berhasil merebut beberapa senjata beserta dengan pelurunya, pasukan I Gusti Ngurah Rai juga membawa pulang seorang komandan polisi NICA yang mau menggabungkan diri.Para pasukan lalu kembali ke Desa Marga.
Pagi-pagi buta, tentara Belanda mengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10 pagi, mulai terjadi baku tembak antar pasukan NICA dan pasukan Ngurah Rai. Banyak dari pasukan Belanda mati tertembak,  dan karena itu, Belanda mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang ada di Bali, juga dengan tambahan pesawat pengebom dari Makassar.
Meskipun pertempuran itu sangat sengit, pasukan Ngurah Rai bertekat untuk tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Dari sinilah, pasukan I Gusti Ngurah Rai mengadakan “Puputan”, yang artinya pertempuran habis-habisan di Desa Marga. Seluruh pasukan dengan jumlah 96 orang gugur, termasuk sang kolonel sendiri. Di pihak Belanda, kurang lebih ada 400 tentara yang tewas. Untuk mengenang peristiwa ini, tiap tanggal 20 November 1946 dikenal dengan Perang Puputan Margarana, dan bekas arena tempur didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Perang ini menghasilkan kekalahan Bali pada Belanda, dan berdirinya Negara Indonesia Timur.

G. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan propaganda Belanda.



1 komentar: