Pemberontakan
Fisik Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
A. Pertempuran
Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara
dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dan
tentara Britania Raya dan India Britania. Puncaknya terjadi pada
tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan
Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan
satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang
menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Usai
pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap
perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10 November diperingati setiap
tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia.
Ketika pasukan Sekutu mendarat pada akhir
Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai "benteng bersatu yang kuat [di
bawah Pemuda]" Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah komandan pasukan
Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas
dalam baku tembak. Britania melakukan serangan balasan punitif pada 10
November dengan bantuan pesawat tempur. Pasukan kolonial merebut sebagian besar
kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim senjata melawan selama tiga
minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota mengungsi ke
pedesaan.
Meskipun kalah dan
kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan pasukan
Republik membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi
memandang Republik sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran
ini juga meyakinkan Britania untuk mengambil sikap netral dalam revolusi
nasional Indonesia; beberapa tahun kemudian, Britania mendukung perjuangan
Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
B. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 Oktober 1945. Latar Belakang pecahnya Pertempuran Ambarawa disebabkan karena pasukan sekutu mendarat di kota Semarang tepat pada tanggal duapuluh Oktober 1945. Pasukan tersebut kemudian membebaskan tawanan perang di Magelang dan Ambarawa. Pasukan yang diizinkan untuk membebaskan tawanan perang oleh pemerintah Republik Indonesia tersebut kemudian mempersenjatai tawanan yang sudah dibebaskan.
Pasukan yang dibebaskan saat sebelum pertempuran Ambarawa pecah adalah merupakan tawanan perang dari Eropa. Akibat pembebasan dan pemberian senjata yang diberikan oleh pasukan Sekutu kepada tawanan menyebabkan terjadi beberapa insiden tepatnya pada tanggal 26 Oktober. Insiden ini merupakan pertempuran yang berlangsung antara pasukan Sekutu dan pasukan TKR sebelum pertempuran Ambarawa.
Insiden sebelum pertempuran Ambarawa ini dapat berakhir setelah pemimpin dari kedua belah pihak melakukan sebuah perjanjian. Kedua tokoh yaitu Ir Soekarno dari Republik Indonesia dan Brigadir Jenderal Bethell dari Sekutu. Pertemuan berlangsung di Magelang pada tanggal 2 November 1945 dan melakukan sebuah perjanjian.
C. Pertempuran Medan area
Pertempuran
Medan Area adalah
sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatra Utara.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah
pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan
tentara sekutu (Inggris)
ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang
dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu
dan NICA ternyata
memancing berbagai insiden terjadi di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan, Sumatra Utara pada
tanggal 13 Oktober 1945.
Saat
itu, seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang
dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia. Pada
tanggal 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu
dan NICA dalam
upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Inggris mengeluarkan ultimatum kepada
bangsa Indonesia agar
menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada
tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan
yang tertuliskan "Fixed
Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai
pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945,
Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kota Medan.
Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil
menduduki Kota Medan. Untuk sementara waktu pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Siantar, sementara itu
perlawanan para laskar pemuda dipindahkan keluar Kota Medan. Perlawanan
terhadap sekutu semakin sengit pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.
Kemudian diadakanlah
pertemuan di antara para Komandan pasukan yang berjuang di Medan Area dan
memutuskan dibentuk nya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
untuk memperkuat perlawanan di Kota Medan. Setelah pertemuan para komando itu,
pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan
Pemuda Indonesia (BPI) dan berganti nama menjadi Komando
Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo, dipimpin oleh Matang Sitepu sebagai
ketua umum, dan dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat
Ginting, Rakutta Sembiring, R.M. Pandia dari N.V
Mas Persada Koran Karo-karo dan Keterangan Sebayang.
D. Peristiwa Krueng Panjo
Di Aceh, sekutu menggerakkan
pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi para pejuang, sehingga pecah
pertempuran yang dikenal sebagai Peristiwa Krueng Panjo pada bulan November
1945.
E. Bandung Lautan Api
Peristiwa
Bandung Lautan Api merupakan peristiwa besar yang terjadi setelah
kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini adalah sebuah perjuangan yang dilakukan
oleh rakyat Bandung dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
Sejarah
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah sebuah situasi di mana para pejuang
kemerdekaan Indonesia di Bandung membakar kota Bandung demi upaya untuk
mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia. Peristiwa Bandung Lautan Api
terjadi pada bulan Maret 1946. Pembakaran kota Bandung dilakukan oleh
masyarakat sebagai respon perintah dari pihak Sekutu yang menyuruh masyarakat agar
mengosongkan kota Bandung. Pembakaran dilakukan oleh sekitar 200 ribu
masyarakat, dalam waktu 7 jam. Mereka membakar harta benda dan rumah,
selanjutnya pergi meninggalkan kota Bandung.
Peristiwa
Bandung Lautan Api dilatarbelakangi ketika pasukan sekutu memasuki Bandung,
dipimpin oleh Brigadir MDonald. Kedatangan pasukan sekutu kemudian berusaha
menguasai dan menduduki pusat-pusat penting di kota Bandung seperti
kantor-kantor.Kemudian terjadi insiden ditempat para pasukan Sekutu dan NICA
menginap, yaitu di Gedung Denis. Insiden yang terjadi adalah perobekan Bendera
Belanda (biru, merah dan putih), perobekan dilakukan dengan menghilangkan warna
biru, sehingga menjadi merah putih yang merupakan bendera kebanggaan Republik
Indonesia. Perbuatan ini dilakukan oleh pemuda Indonesia, bernama M. Endang
Karmas dan temannya Moeljono.
F. Puputan Margarana di Bali
Pertempuran Puputan
Margarana
adalah satu dari banyak pertempuran antara Indonesia dan Belanda pada perang
kemerdekaan Indonesia pada 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin
oleh Kepala Divisi Sunda Kecil, yaitu Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Pertempuran
ini mengambil tempat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali, Indonesia.
Peristiwa ini terjadi dengan niat Pasukan TKR setempat untuk mengusir Pasukan
Belanda yang datang setelah kekalahan Jepang untuk menguasai kembali wilayah
yang direbut Jepang pada Perang Dunia II.
Pada awalnya, Pertempuran Margarana dipicu pada tanggal 2 dan 3
Maret 1946, pada saat itu, kurang lebih 2.000 tentara Belanda mendarat di Bali.
Ketika Belanda sampai di Bali, pemimpin Laskar Bali, Kolonel I Gusti Ngurah Rai
sedang menghadap ke Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta, dengan tujuan untuk
membicarakan masalah pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara untuk
menghadapi Belanda. Ketika kembali dari Yogya, I Gusti Ngurah Rai menemukan
pasukannya dalam keadaan porak-poranda. Ini disebabkan oleh serangan pasukan
Belanda. Ngurah Rai terus berusaha untuk mengumpulkan kembali pasukannya, dan
sementara itu, Belanda terus membujuk Ngurah Rai untuk bekerja sama dengan
pihak Belanda.
Pada tanggal 20 November
1946, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi
NICA yang ada di Kota Tabanan ketika staf MBO berada di desa Marga. Perintah
ini terlaksana dengan baik. Tidak hanya berhasil merebut beberapa senjata
beserta dengan pelurunya, pasukan I Gusti Ngurah Rai juga membawa pulang
seorang komandan polisi NICA yang mau menggabungkan diri.Para pasukan
lalu kembali ke Desa Marga.
Pagi-pagi buta, tentara Belanda mengadakan pengurungan terhadap
Desa Marga. Kurang lebih pukul 10 pagi, mulai terjadi baku tembak antar pasukan
NICA dan pasukan Ngurah Rai. Banyak dari pasukan Belanda mati tertembak,
dan karena itu, Belanda mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang ada di
Bali, juga dengan tambahan pesawat pengebom dari Makassar.
Meskipun pertempuran itu sangat sengit, pasukan Ngurah Rai
bertekat untuk tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Dari sinilah,
pasukan I Gusti Ngurah Rai mengadakan “Puputan”, yang artinya pertempuran
habis-habisan di Desa Marga. Seluruh pasukan dengan jumlah 96 orang gugur,
termasuk sang kolonel sendiri. Di pihak Belanda, kurang lebih ada 400 tentara
yang tewas. Untuk mengenang peristiwa ini, tiap tanggal 20 November 1946
dikenal dengan Perang Puputan Margarana, dan bekas arena tempur didirikan Tugu
Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Perang ini menghasilkan kekalahan Bali pada
Belanda, dan berdirinya Negara Indonesia Timur.
G. Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta
Serangan
Umum 1 Maret 1949 adalah
serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap
kota Yogyakarta secara
besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer
di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan
pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III,
Kol. Bambang Sugeng, untuk
membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik
Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat
posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan
PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta
membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI)
masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada
waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut
serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang
lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang
dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik
terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon,
merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta
tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa
memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan
kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda
tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang
kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan
Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung -
yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan
untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III -
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna
melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan
penolakan Belanda terhadap
resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba
Raya, Panglima Besar Sudirman juga
telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan
untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan
propaganda Belanda.
Mantapp
BalasHapus